Pariwisata Nasional: Menguak Tirai Manisnya Janji, Mempertanyakan Pahitnya Realita
Di balik gemerlap brosur dengan gambar pantai berpasir putih, pegunungan hijau, dan senyum ramah penduduk lokal, ada mesin raksasa bernama politik pariwisata yang terus berputar. Agenda wisata nasional, yang digadang-gadang sebagai lokomotif ekonomi dan jendela budaya bangsa, sejatinya adalah medan pertarungan kepentingan yang kompleks. Pertanyaan krusialnya: siapa sebenarnya yang benar-benar memetik buah manisnya, dan siapa yang mungkin tergerus dalam pusarannya?
Narasi Indah, Realita Berlapis
Pemerintah mana pun di dunia akan menyajikan narasi yang seragam: pariwisata membawa devisa, menciptakan lapangan kerja, mempromosikan budaya, dan meningkatkan citra bangsa. Sebuah visi yang begitu memukau, menjanjikan kesejahteraan merata dari kota metropolitan hingga pelosok desa. Namun, ketika tirai dibuka, kita menemukan realita yang jauh lebih berlapis.
Agenda wisata nasional seringkali lahir dari meja-meja perencanaan di ibu kota, dengan target angka kunjungan dan pendapatan yang ambisius. Fokusnya cenderung pada "destinasi super prioritas", pembangunan infrastruktur besar-besaran, dan promosi gencar di kancah internasional. Ini bukan hal buruk, tentu saja. Jalan tol yang mulus, bandara megah, dan hotel-hotel bintang lima memang menarik investor dan wisatawan.
Siapa yang Duduk di Kursi VIP?
Dalam "rantai makanan" pariwisata ini, para pemain besar biasanya menjadi yang pertama menikmati hidangan utama. Investor kakap, baik domestik maupun multinasional, adalah yang paling diuntungkan. Mereka membangun resor, mengoperasikan maskapai penerbangan, dan memiliki jaringan hotel raksasa. Kebijakan insentif pajak, kemudahan perizinan, dan akses ke lahan-lahan strategis seringkali dialirkan ke arah mereka. Bagi korporasi ini, pariwisata adalah bisnis, dan efisiensi serta keuntungan adalah mantra utama.
Pemerintah pusat, melalui kementerian terkait dan BUMN pariwisata, juga memegang kendali signifikan. Mereka adalah arsitek kebijakan, penyedia dana awal, dan penentu arah. Keuntungan yang mereka dapatkan adalah dalam bentuk peningkatan devisa negara, pencapaian target makroekonomi, dan citra politik yang positif di mata publik dan komunitas internasional.
Ketika Tuan Rumah Menjadi Pelayan
Lalu, bagaimana dengan masyarakat lokal yang menjadi "wajah" pariwisata itu sendiri? Petani yang lahannya tergusur untuk pembangunan resor, nelayan yang terpinggirkan dari garis pantai favorit wisatawan, atau seniman lokal yang karyanya dikomersialkan secara massal – nasib mereka seringkali menjadi catatan kaki dalam laporan keberhasilan.
Memang, pariwisata menciptakan lapangan kerja. Namun, pekerjaan apa? Seringkali, itu adalah pekerjaan musiman, bergaji rendah, atau di sektor informal yang rentan. Mereka mungkin menjadi pelayan, pemandu wisata paruh waktu, atau penjual suvenir. Senyum ramah yang terpampang di brosur bisa jadi menyembunyikan raut kecemasan akan keberlanjutan hidup dan erosi budaya mereka. Komersialisasi budaya lokal yang berlebihan tanpa penghargaan yang adil dapat mengubah tradisi sakral menjadi sekadar tontonan, mengikis makna dan identitas asli.
Inflasi di daerah wisata juga menjadi isu serius. Harga tanah melonjak, biaya hidup meningkat, namun pendapatan masyarakat lokal tidak selalu sebanding. Ironi yang menusuk: mereka hidup di surga yang dijual mahal, namun tak mampu menikmatinya.
Harga yang Tak Tercantum di Paket Wisata
Selain aspek ekonomi dan sosial, ada pula "harga" tersembunyi yang harus dibayar. Beban lingkungan akibat lonjakan wisatawan, mulai dari sampah yang menumpuk, konsumsi air bersih yang berlebihan, hingga kerusakan ekosistem laut atau hutan, seringkali luput dari perhitungan. Siapa yang menanggung biaya rehabilitasinya? Lagi-lagi, masyarakat dan lingkungan sekitar yang paling terdampak.
Mencari Keseimbangan: Pariwisata yang Berkeadilan
Politik pariwisata yang ideal seharusnya bukan hanya tentang angka, melainkan tentang keseimbangan dan keberlanjutan. Ini berarti:
- Melibatkan Masyarakat Lokal: Bukan hanya sebagai objek promosi, melainkan sebagai subjek utama dalam perencanaan dan pengelolaan pariwisata. Mereka adalah penjaga budaya dan lingkungan, dan suara mereka harus didengar.
- Pembagian Keuntungan yang Adil: Memastikan bahwa pendapatan pariwisata benar-benar mengalir ke komunitas lokal, bukan hanya tersedot ke puncak piramida korporasi. Ini bisa melalui koperasi pariwisata, pelatihan kewirausahaan, atau skema bagi hasil yang transparan.
- Fokus pada Keberlanjutan: Menerapkan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang menjaga kelestarian lingkungan dan budaya, bukan sekadar eksploitasi.
- Diversifikasi Ekonomi Lokal: Agar masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada pariwisata, yang rentan terhadap guncangan eksternal (seperti pandemi).
Agenda wisata nasional adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membawa janji kemajuan dan kemakmuran. Di sisi lain, ia berpotensi menggerus identitas, menggusur, dan merusak. Untuk memastikan bahwa agenda ini benar-benar menguntungkan bangsa secara menyeluruh, kita perlu lebih dari sekadar angka kunjungan. Kita perlu empati, keadilan, dan visi jangka panjang yang menempatkan manusia dan alam di atas segalanya.
Mari kita berhenti sejenak dari euforia angka dan mulai bertanya: siapa yang tersenyum tulus di balik gemerlap pariwisata kita, dan siapa yang mungkin menyembunyikan air mata? Sejatinya, pariwisata adalah cerminan dari cara kita menghargai bukan hanya keindahan alam, tetapi juga martabat sesama manusia.











