Politik Pendidikan Tinggi: Ketika Kampus Menjadi Medan Perebutan Jiwa Ilmu dan Arah Bangsa
Di balik tembok-tembok megah kampus, di antara deretan buku tebal dan hiruk-pikuk diskusi di koridor, tersimpan sebuah arena pertarungan yang tak kasat mata namun esensial: politik pendidikan tinggi. Ini bukan sekadar perebutan kursi rektor atau alokasi anggaran, melainkan pergulatan fundamental antara idealisme kualitas akademik yang otonom dan realitas intervensi negara yang penuh muslihat—atau terkadang, niat baik yang salah arah.
Mari kita jujur, pendidikan tinggi bukanlah menara gading yang steril dari sentuhan kekuasaan. Ia adalah denyut nadi peradaban, pembentuk karakter bangsa, dan laboratorium gagasan yang menentukan arah masa depan. Tentu saja, negara memiliki kepentingan vital di sini. Dari memastikan pemerataan akses, relevansi lulusan dengan pasar kerja, hingga mengarahkan penelitian untuk mendukung agenda pembangunan nasional—semua adalah alasan sah bagi negara untuk hadir. Namun, di titik mana batas antara "mengatur" dan "mengintervensi berlebihan" menjadi kabur? Di mana campur tangan itu mulai menggerogoti esensi kualitas akademik dan kebebasan intelektual yang sejatinya adalah roh dari perguruan tinggi?
Kualitas Akademik: Kompas Moral yang Rapuh
Kualitas akademik bukanlah sekadar angka akreditasi atau jumlah publikasi di jurnal internasional. Ia adalah ekosistem yang kompleks, ditopang oleh kebebasan mimbar akademik, otonomi institusional, integritas riset, dan kemampuan untuk berinovasi tanpa rasa takut. Dosen harus bebas mengajarkan apa yang mereka yakini benar berdasarkan ilmu, bukan berdasarkan doktrin politik. Mahasiswa harus leluasa berdiskusi dan mengkritisi, bahkan kebijakan negara sekalipun, tanpa khawatir akan represi. Riset harus didorong oleh keingintahuan ilmiah, bukan oleh pesanan yang bias.
Inilah jantung dari pendidikan tinggi yang berkualitas: kemampuan untuk menjadi critical friend bagi masyarakat dan negara. Sebuah institusi yang mampu mencetak pemikir mandiri, inovator berani, dan pemimpin berintegritas—bukan sekadar mesin pencetak ijazah atau kepanjangan tangan rezim. Ketika kompas moral ini terguncang, ketika kebebasan ini dikebiri, perlahan tapi pasti, kualitas akademik akan memudar.
Intervensi Negara: Pedang Bermata Dua
Niat baik negara dalam intervensi seringkali berakar pada keinginan untuk meningkatkan kualitas, memastikan relevansi, atau mencapai keseragaman standar. Lewat regulasi kurikulum, penunjukan pejabat struktural, alokasi anggaran, hingga skema akreditasi, negara berusaha membentuk wajah pendidikan tinggi sesuai visinya.
Namun, di sinilah letak pedang bermata duanya. Intervensi yang terlalu dalam, apalagi dengan motif politik jangka pendek, bisa berubah menjadi bumerang.
- Standarisasi Berlebihan: Usaha menyamaratakan kurikulum di seluruh Indonesia, tanpa mempertimbangkan kekhasan lokal atau spesialisasi institusi, bisa mematikan inovasi dan keragaman. Kampus-kampus dipaksa seragam, kehilangan identitas uniknya.
- Politisasi Penunjukan: Ketika penunjukan rektor atau dekan lebih didasarkan pada kedekatan politik daripada meritokrasi dan visi akademik, maka integritas kepemimpinan akan goyah. Kampus bisa berubah menjadi arena loyalitas, bukan kompetensi.
- Agenda Riset "Pesanan": Dorongan riset yang terlalu terfokus pada agenda pemerintah yang spesifik, mengabaikan eksplorasi fundamental atau area yang dianggap "kurang strategis," bisa memiskinkan khazanah ilmu pengetahuan dan membatasi horizon peneliti. Proyek-proyek mercusuar yang dibiayai besar, tapi minim dampak akademis jangka panjang, adalah contoh nyata.
- Birokratisasi yang Menyesakkan: Tumpukan regulasi, prosedur perizinan yang berbelit, dan tuntutan administrasi yang tak henti-henti dari birokrasi negara, seringkali menyita waktu dan energi dosen yang seharusnya dicurahkan untuk mengajar, meneliti, dan membimbing. Kreativitas terhimpit di bawah tumpukan kertas.
Bukankah ironis, ketika upaya untuk "memperbaiki" kualitas justru berakhir dengan menumpulkan ketajaman intelektual dan mengikis semangat inovasi? Dosen-dosen terbaik mungkin memilih hengkang, mahasiswa merasa frustrasi, dan reputasi internasional perlahan terkikis.
Mencari Keseimbangan yang Rapuh
Lantas, apakah negara harus sepenuhnya lepas tangan? Tentu tidak. Peran negara sebagai fasilitator, penjaga gerbang keadilan, dan penyedia sumber daya krusial tetap vital. Negara harus memastikan akses yang adil bagi semua, memberikan pendanaan yang memadai dan berkelanjutan, serta menciptakan ekosistem hukum yang melindungi kebebasan akademik.
Kuncinya terletak pada keseimbangan yang rapuh dan dialog yang setara. Intervensi negara sebaiknya berfokus pada kerangka regulasi yang minimalis namun efektif, mendorong akuntabilitas tanpa mencekik otonomi. Negara harus memercayai kapasitas intelektual kampus untuk mengelola dirinya sendiri, dan kampus harus membuktikan kepercayaan itu dengan integritas dan kualitas yang tak terbantahkan.
Pendidikan tinggi bukanlah sekadar alat untuk mencapai tujuan politik sesaat. Ia adalah investasi jangka panjang pada akal budi, pada kemandirian berpikir, dan pada masa depan bangsa yang sesungguhnya. Ketika politik mulai terlalu dalam mencampuri ranah akademik, kita tidak hanya mempertaruhkan kualitas sebuah institusi, melainkan juga jiwa ilmu itu sendiri dan arah peradaban yang sedang kita rajut bersama.
Mari kita pastikan kampus tetap menjadi mercusuar peradaban yang memancarkan cahaya ilmu, bukan sekadar pelabuhan bagi agenda politik. Karena di sanalah, masa depan sebuah bangsa benar-benar dipertaruhkan.











