Politik Sains: Mengapa Data Ilmiah Kerap Disingkirkan dalam Kebijakan?

Politik Sains: Ketika Kompas Data Terabaikan di Tengah Badai Kebijakan

Kita hidup di era di mana data adalah mata uang baru, dan sains seharusnya menjadi mercusuar yang menerangi jalan bagi keputusan-keputusan krusial. Seharusnya. Namun, realitasnya sering kali jauh dari ideal. Dalam arena yang kita sebut "Politik Sains," data ilmiah, yang dengan susah payah dikumpulkan, dianalisis, dan diverifikasi, kerap menemukan dirinya teronggok di sudut, diabaikan, atau bahkan sengaja disalahpahami oleh hiruk-pikuk pembuatan kebijakan. Mengapa demikian? Mengapa akal sehat berbasis bukti sering kalah telak dari bisikan-bisikan lain di meja perundingan kekuasaan?

Ini bukan sekadar kasus "tidak mengerti" atau "tidak peduli." Ini adalah tarian kompleks antara kebenaran objektif dan realitas subjektif yang penuh kepentingan. Mari kita bongkar lapis demi lapis mengapa kompas data ilmiah sering terabaikan di tengah badai kebijakan.

1. Bisikan Ideologi dan Narasi yang Membuai

Politik, pada intinya, adalah tentang narasi. Setiap partai, setiap politikus, memiliki cerita yang ingin mereka jual kepada publik: tentang masa depan yang lebih baik, tentang musuh yang harus dihadapi, atau tentang nilai-nilai yang harus dipertahankan. Data ilmiah, sayangnya, sering kali tidak peduli dengan narasi-narasi indah ini. Ia datang dengan fakta yang telanjang, yang kadang bisa meruntuhkan fondasi keyakinan atau janji-janji manis yang sudah terlanjur digaungkan.

Misalnya, data tentang dampak perubahan iklim mungkin menuntut kebijakan yang tidak populer, seperti pembatasan industri tertentu atau pajak karbon. Bagi politikus yang terikat pada narasi pertumbuhan ekonomi tanpa batas atau takut kehilangan suara dari sektor industri, data tersebut menjadi "pengganggu" yang tidak relevan. Lebih mudah untuk mencari "alternatif fakta" atau menyerang kredibilitas ilmuwan daripada menghadapi kebenaran yang tidak nyaman.

2. Jangka Pendek vs. Jangka Panjang: Siklus Elektoral yang Kejam

Ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan masalah kompleks seperti lingkungan, kesehatan masyarakat, atau pendidikan, seringkali menuntut solusi jangka panjang. Dampak dari kebijakan berbasis sains mungkin baru terasa puluhan tahun kemudian. Sementara itu, politikus beroperasi dalam siklus elektoral yang kejam: lima tahun, empat tahun, bahkan kurang.

Apa yang bisa dijual sebagai "kemenangan" dalam pidato kampanye berikutnya? Membangun infrastruktur yang megah? Memberikan subsidi instan? Kebijakan yang menjanjikan hasil cepat, meskipun dangkal atau tidak berkelanjutan, jauh lebih menarik bagi pembuat kebijakan daripada investasi jangka panjang dalam penelitian dasar atau program pencegahan yang hasilnya baru terlihat di generasi berikutnya. Buah yang matang di pohon jangka panjang seringkali tidak sempat dipetik oleh tangan politikus yang terburu-buru.

3. Kompleksitas dan Ketidakpastian: Bahasa Algoritma vs. Bahasa Retorika

Sains berbicara dalam bahasa probabilitas, model, dan ketidakpastian. Ia mengakui bahwa ada hal-hal yang belum diketahui, bahwa temuan bisa direvisi, dan bahwa ada spektrum abu-abu di antara hitam dan putih. Publik dan politikus, di sisi lain, sering menginginkan kepastian absolut dan jawaban yang sederhana.

Ketika ilmuwan berkata, "Berdasarkan model saat ini, ada kemungkinan 70% bahwa X akan terjadi jika Y tidak dilakukan," politikus mendengar, "Mereka tidak yakin." Retorika politik lebih menyukai pernyataan yang tegas, lugas, dan mudah dicerna, meskipun itu berarti menyederhanakan atau bahkan mendistorsi data. Kompleksitas ilmiah dianggap sebagai kelemahan, bukan sebagai kekuatan dari kejujuran intelektual.

4. Hantu-hantu di Balik Layar: Kepentingan Ekonomi dan Politik Terselubung

Ini mungkin adalah faktor yang paling sinis, namun tak terhindarkan. Data ilmiah seringkali memiliki konsekuensi ekonomi dan politik yang sangat nyata. Jika data menunjukkan bahwa produk suatu industri merusak lingkungan atau kesehatan, maka ada miliaran dolar yang dipertaruhkan. Jika data mengindikasikan bahwa kebijakan yang sedang berjalan tidak efektif, maka reputasi dan kekuasaan pejabat tertentu berada dalam bahaya.

Dalam skenario ini, data bukan lagi alat pencari kebenaran, melainkan medan perang. Lobi-lobi kuat akan mengucurkan dana untuk menyewa "ilmuwan tandingan" atau mendanai kampanye disinformasi untuk meragukan temuan yang tidak menguntungkan mereka. Politikus yang terikat dengan kepentingan-kepentingan ini, entah karena sumbangan kampanye atau janji-janji politik, akan dengan senang hati mengabaikan atau meremehkan bukti yang ada.

5. Erosi Kepercayaan dan Gema Post-Truth

Di era digital, di mana setiap orang bisa menjadi "pakar" di media sosial, dan disinformasi merajalela, kepercayaan terhadap institusi ilmiah telah terkikis. Populisme seringkali mengkapitalisasi sentimen anti-elit, termasuk anti-ilmuwan. Ilmuwan dituduh bias, elitis, atau bagian dari "konspirasi" global.

Ketika kepercayaan ini runtuh, data ilmiah kehilangan otoritasnya. Masyarakat dan politikus menjadi lebih rentan terhadap narasi yang memuaskan emosi, meskipun tidak berdasar fakta. Kebenaran menjadi relatif, dan apa yang terasa benar lebih penting daripada apa yang sebenarnya benar.

Menjembatani Jurang: Bukan Hanya Impian Utopis

Mengapa data ilmiah kerap disingkirkan dalam kebijakan adalah pertanyaan yang kompleks, dengan jawaban yang berakar pada psikologi manusia, dinamika politik, dan kepentingan ekonomi. Ini adalah pertarungan yang tidak pernah usai antara idealisme dan pragmatisme, antara kebenaran dan kekuasaan.

Untuk menjembatani jurang ini, diperlukan lebih dari sekadar ilmuwan yang menyediakan data. Diperlukan politikus yang berani, masyarakat yang kritis, dan media yang bertanggung jawab untuk menuntut kebijakan berbasis bukti. Diperlukan ilmuwan yang mampu mengkomunikasikan kompleksitas dengan cara yang mudah dipahami, tanpa kehilangan integritas. Hanya dengan upaya kolektif, kita bisa berharap kompas data ilmiah kembali memandu kapal kebijakan melewati badai, menuju masa depan yang lebih terang dan berkelanjutan. Jika tidak, kita akan terus berlayar buta, ditenangkan oleh narasi semu, menuju karang yang tak terlihat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *