Politik Sumber Daya Alam: Harta Karun di Bawah Tanah, Siapa yang Benar-Benar Menggenggam Kuncinya?
Di bawah hamparan hijau hutan, di kedalaman bumi yang gelap, atau di riaknya gelombang lautan, tersembunyi kekayaan yang tak ternilai: sumber daya alam. Emas, nikel, batu bara, minyak, gas, hingga air bersih dan hutan lebat. Mereka adalah tulang punggung peradaban, bahan bakar pembangunan, dan seringkali, pemicu konflik senyap yang jauh lebih rumit dari sekadar angka ekonomi.
Bicara tentang sumber daya alam, kita tak bisa lepas dari politiknya. Ini bukan sekadar urusan geologi atau teknik ekstraksi, melainkan sebuah medan pertempuran sengit yang melibatkan kekuasaan, modal, ideologi, dan nasib jutaan manusia. Pertanyaannya kemudian, yang kerap berbisik di telinga para pengamat dan berteriak di hati masyarakat terdampak: siapa sebenarnya yang berhak mengatur ‘harta karun’ ini? Dan ketika kekayaan itu diekstraksi, ke kantong siapa aliran keuntungannya bermuara?
Siapa yang Mengatur? Antara Kedaulatan di Atas Kertas dan Kekuatan di Lapangan
Secara konstitusional, di banyak negara, termasuk Indonesia, sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ini adalah adagium indah yang tertulis di undang-undang, sebuah janji suci kedaulatan. Negara, melalui perangkat hukum dan birokrasinya, secara formal adalah pemegang kedaulatan, penerbit izin, dan pengawas.
Namun, realitas di lapangan jauh lebih kompleks. Di balik bendera negara, ada kekuatan korporasi raksasa, baik multinasional maupun domestik, yang memiliki modal, teknologi, dan seringkali, lobi politik yang tak tertandingi. Mereka datang dengan proposal investasi triliunan rupiah, janji penciptaan lapangan kerja, dan sumbangsih pajak yang menggiurkan. Kontrak-kontrak konsesi, izin-izin eksplorasi, seringkali dibungkus kerahasiaan yang tebal, menjauhkan dari mata publik dan pengawasan yang ketat.
Di sisi lain, ada masyarakat adat dan komunitas lokal yang telah hidup berdampingan dengan sumber daya itu selama generasi, memegang kearifan lokal dan hak ulayat yang seringkali diabaikan. Bagi mereka, hutan bukan hanya kayu, sungai bukan hanya air, tetapi adalah bagian tak terpisahkan dari identitas, budaya, dan sumber penghidupan. Ketika palu godam pembangunan dan eksploitasi datang, suara mereka seringkali menjadi bisikan yang tenggelam di tengah hiruk-pikuk janji kemajuan.
Maka, "pengatur" sesungguhnya adalah simpul rumit antara birokrasi negara yang rentan intervensi, kekuatan modal korporasi yang pragmatis, dan tekanan masyarakat sipil yang gigih memperjuangkan hak-haknya. Kedaulatan di atas kertas seringkali bergeser menjadi kompromi di meja perundingan, atau bahkan penyerahan diri di hadapan kekuatan ekonomi.
Siapa yang Diuntungkan? Dari Kas Negara Hingga Kantong Segelintir Elit
Jika mengatur saja sudah pelik, apalagi berbicara tentang keuntungan.
Pertama, Pemerintah. Pemerintah, tentu saja, mengklaim mendapatkan keuntungan dalam bentuk pajak, royalti, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Dana ini seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat. Namun, transparansi penggunaannya seringkali menjadi pertanyaan besar. Apakah semua penerimaan itu tercatat dengan akurat? Apakah distribusinya adil? Dan apakah dana tersebut benar-benar dialokasikan untuk kepentingan rakyat banyak, atau justru bocor ke berbagai proyek yang kurang esensial atau bahkan dikorupsi?
Kedua, Korporasi dan Pemegang Sahamnya. Tak bisa dipungkiri, keuntungan terbesar mengalir deras ke pundi-pundi korporasi dan para pemegang sahamnya. Dengan skala operasi yang masif, teknologi canggih, dan efisiensi ekstraksi, margin keuntungan mereka bisa sangat fantastis. Para investor, seringkali dari negara-negara maju atau pasar modal global, melihat SDA kita sebagai komoditas semata yang bisa diperdagangkan untuk memaksimalkan return. Inilah roda kapitalisme global yang berputar tanpa henti, dengan SDA sebagai salah satu bahan bakarnya.
Ketiga, Para Elit dan Oligarki. Jangan lupakan pula peran para elit politik dan oligarki yang, melalui jaringan kekuasaan dan koneksi, bisa mendapatkan bagian kue yang jauh lebih besar. Izin-izin yang mudah keluar, perubahan regulasi yang menguntungkan, atau bahkan kepemilikan saham di balik layar perusahaan-perusahaan ekstraktif, adalah mekanisme yang memungkinkan mereka mengumpulkan kekayaan yang luar biasa. Inilah wajah lain dari politik sumber daya alam: sebuah alat untuk memperkaya segelintir orang, mengukuhkan kekuasaan, dan menciptakan ketimpangan yang kian menganga.
Keempat, Masyarakat Lokal? Ini adalah ironi paling pahit. Masyarakat lokal, yang tanah dan lingkungannya dieksploitasi, seringkali menjadi pihak yang paling sedikit merasakan keuntungan dan paling banyak menanggung dampak negatifnya. Mereka mungkin mendapatkan sedikit lapangan kerja, program CSR yang sifatnya tambal sulang, atau kompensasi yang tak sebanding dengan hilangnya tanah, air bersih, atau lingkungan hidup mereka yang rusak. Alih-alih kesejahteraan, yang sering mereka dapatkan adalah polusi, konflik agraria, dan hilangnya identitas budaya.
Sebuah Pertaruhan Masa Depan
Politik sumber daya alam adalah medan pertempuran yang tak pernah usai. Ini bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan pertarungan kekuasaan dan nilai. Korban utamanya seringkali adalah lingkungan hidup dan keadilan sosial. Hutan gundul, sungai tercemar, tanah longsor, konflik agraria, hingga masyarakat yang terusir dari tanah leluhurnya adalah saksi bisu dari pengelolaan sumber daya yang tidak adil dan tidak berkelanjutan.
Lantas, apakah lantas kita harus menyerah pada narasi bahwa SDA hanya membawa sengsara? Tentu tidak. Kuncinya ada pada transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik yang bermakna.
- Transparansi dalam setiap kontrak, izin, dan aliran dana. Masyarakat berhak tahu siapa yang berinvestasi, berapa yang diekstraksi, dan ke mana uangnya pergi.
- Akuntabilitas bagi setiap pelanggaran lingkungan, korupsi, dan ketidakadilan. Penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu adalah mutlak.
- Partisipasi publik yang memungkinkan masyarakat lokal, adat, dan sipil memiliki suara kuat dalam setiap keputusan terkait pengelolaan sumber daya di wilayah mereka.
Kedaulatan atas sumber daya alam harus diterjemahkan menjadi kesejahteraan rakyat, bukan segelintir elit. Ini adalah panggilan untuk kita semua, para pembuat kebijakan, korporasi, aktivis, hingga setiap warga negara, untuk merenungkan kembali bagaimana kita memperlakukan harta karun bumi ini. Di balik setiap gram emas, setiap barel minyak, atau setiap pohon yang tumbang, tersembunyi cerita tentang kekuasaan, keserakahan, namun juga harapan akan keadilan. Tugas kita bersama adalah memastikan bahwa harta karun bumi ini benar-benar menjadi berkah, bukan kutukan.


