Politik Transportasi Publik: Kepentingan Warga atau Proyek Elite?

Politik Transportasi Publik: Dari Gerbang Kota Hingga Meja Perundingan – Untuk Siapa Sesungguhnya Jalan Ini Dibangun?

Di setiap dentuman mesin bus yang menderu di pagi hari, di setiap desing pintu MRT yang menutup, dan di setiap gerbong KRL yang padat, tersimpan lebih dari sekadar cerita perjalanan. Ada narasi tentang harapan, janji, dan tentu saja, politik. Transportasi publik, seringkali dianggap sebagai urat nadi kota, tulang punggung ekonomi, dan simbol kemajuan peradaban, nyatanya adalah medan pertempuran ideologi dan kepentingan yang kompleks: apakah ia benar-benar dibangun untuk memudahkan langkah jutaan warga, atau justru menjadi panggung megah bagi ambisi para elite?

Mimpi Warga: Mobilitas yang Merata, Hidup yang Lebih Baik

Bagi mayoritas warga kota, transportasi publik adalah penyelamat. Ia adalah jembatan yang menghubungkan rumah mungil di pinggiran dengan kantor di pusat kota, sekolah anak, atau pasar tempat mencari nafkah. Bayangan idealnya adalah sistem yang efisien, terjangkau, aman, nyaman, dan terintegrasi. Sebuah sistem yang membebaskan mereka dari kemacetan yang menguras waktu dan energi, dari biaya bahan bakar yang mencekik, serta dari polusi udara yang mengancam kesehatan.

Ketika sistem transportasi publik berfungsi optimal, dampaknya meluas jauh melampaui sekadar perpindahan fisik. Ia meningkatkan produktivitas, mengurangi kesenjangan sosial dengan membuka akses ekonomi dan pendidikan bagi kelompok rentan, serta berkontribusi pada lingkungan yang lebih bersih. Inilah visi yang sering digemakan dalam setiap kampanye politik dan pidato peresmian proyek. Inilah mimpi tentang kota yang humanis, di mana setiap individu memiliki hak yang sama untuk bergerak.

Realitas Politik: Proyek Elite, Citra, dan Angka-Angka

Namun, realitas di lapangan seringkali jauh berbeda dari mimpi tersebut. Di balik gemuruh mesin dan kilauan infrastruktur baru, seringkali terselip pertanyaan-pertanyaan kritis:

  1. Prioritas Pembangunan: Mengapa proyek-proyek besar dan mahal seperti MRT atau LRT seringkali didahulukan, sementara angkutan kota yang melayani jutaan warga di gang-gang sempit masih terlantar, usang, dan tidak terintegrasi? Apakah ini karena daya tarik "proyek mercusuar" yang lebih mudah menarik perhatian dan investasi, atau karena kebutuhan nyata warga di lapisan paling bawah?
  2. Keterjangkauan dan Aksesibilitas: Setelah proyek megah selesai, apakah tarifnya benar-benar terjangkau oleh buruh pabrik, pedagang pasar, atau mahasiswa? Apakah jangkauannya sudah merata hingga ke permukiman padat di pelosok, atau hanya melayani koridor-koridor strategis yang dihuni oleh kelas menengah ke atas? Seringkali, "last-mile problem" – tantangan untuk mencapai tujuan akhir dari stasiun terdekat – menjadi hambatan krusial yang tidak terpecahkan.
  3. Kepentingan Bisnis dan Lobi: Pembangunan infrastruktur transportasi adalah kue besar. Kontrak miliaran rupiah, akuisisi lahan, hingga pasokan material dan teknologi, melibatkan banyak pihak: investor, kontraktor besar, konsultan, hingga pemasok teknologi dari dalam dan luar negeri. Dalam pusaran ini, kepentingan politik dan bisnis bisa berjalin kelindan, berpotensi menggeser prioritas dari "kebutuhan warga" menjadi "keuntungan proyek" atau "warisan politik." Siapa yang diuntungkan dari skema pembiayaan utang luar negeri? Siapa yang mendapatkan konsesi lahan di sekitar stasiun baru?
  4. Narasi dan Citra: Transportasi publik modern seringkali menjadi alat pencitraan bagi para pemimpin daerah maupun nasional. Ia adalah simbol modernitas, efisiensi, dan kemampuan untuk "membangun." Namun, apakah citra ini selaras dengan pengalaman sehari-hari warga? Apakah kita sedang membangun kota untuk manusia, atau hanya untuk citra dan angka-angka statistik pertumbuhan?

Meleburkan Dua Dunia: Menuju Transportasi yang Benar-Benar untuk Warga

Tidak semua proyek besar itu buruk. Infrastruktur modern memang vital untuk pertumbuhan kota. Namun, titik krusialnya adalah keseimbangan dan orientasi. Politik transportasi publik seharusnya tidak hanya berkutat pada bagaimana membangun sebanyak mungkin, tetapi bagaimana membangun dengan benar dan untuk siapa.

Maka, sudah saatnya kita mendorong pergeseran paradigma:

  • Dari "Proyek" ke "Pelayanan": Fokus harus kembali pada esensi transportasi sebagai layanan publik yang fundamental, bukan sekadar proyek pembangunan.
  • Partisipasi Warga yang Bermakna: Libatkan warga, terutama mereka yang paling terdampak dan paling membutuhkan, dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Suara ibu-ibu pekerja, pedagang, dan siswa harus lebih didengar daripada suara konsultan asing atau pengembang properti.
  • Integrasi Holistik: Bukan hanya integrasi antarmoda (bus, kereta, angkot), tetapi juga integrasi sosial dan ekonomi. Pastikan sistem baru tidak memarjinalkan, melainkan mengangkat derajat warga.
  • Transparansi dan Akuntabilitas: Setiap rupiah yang dibelanjakan harus jelas peruntukannya. Proses tender, pembiayaan, hingga operasional harus terbuka untuk diawasi publik.
  • Prioritas pada "Last Mile" dan Angkutan Rakyat: Investasi tidak hanya di jalur utama, tetapi juga di sistem pengumpan (feeder) yang kuat, aman, dan nyaman, serta peremajaan angkutan publik eksisting yang melayani hingga ke pelosok.

Pada akhirnya, politik transportasi publik adalah cermin dari nilai-nilai sebuah bangsa. Apakah kita memilih untuk membangun menara gading yang megah namun terpisah dari realitas, ataukah kita memilih untuk membangun jaringan yang kuat, merata, dan inklusif, yang benar-benar menjadi denyut nadi kehidupan jutaan warga? Pilihan ada di tangan kita, sebagai warga yang berhak menuntut, dan sebagai pemimpin yang bertanggung jawab. Mari kita pastikan setiap jalan, setiap rel, dan setiap armada transportasi publik, benar-benar dibangun untuk langkah-langkah harapan rakyat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *