Refleksi Politik Pascareformasi: Cermin Retak di Tengah Gelombang Perubahan
Tahun 1998. Sebuah gelombang euforia, kemarahan, dan harapan besar menyapu Nusantara, merobohkan tirai besi otoritarianisme yang telah menaungi selama tiga dekade. Reformasi bukan sekadar pergantian rezim; ia adalah janji akan Indonesia yang baru, yang lebih demokratis, adil, dan berdaulat. Dua puluh enam tahun berlalu, kita berdiri di depan cermin politik pascareformasi, melihat bayangan yang kompleks: sebagian telah bergeser jauh dari masa lalu, namun sebagian lainnya masih bergeming, seperti karang yang tak tergerus ombak.
Gelombang Perubahan: Apa yang Telah Bergeser?
Tak bisa dimungkiri, reformasi telah melahirkan metamorfosis politik yang fundamental. Paling kentara adalah demokratisasi institusional. Pemilihan umum yang luber dan jurdil bukan lagi sekadar slogan, melainkan ritual lima tahunan yang melibatkan ratusan juta suara. Multipartai tumbuh subur, menawarkan spektrum pilihan politik yang lebih luas – meski terkadang membingungkan. Otonomi daerah juga menjadi mercusuar perubahan, mengembalikan kedaulatan kepada masyarakat lokal, meski dengan segala kerikil dan batu sandungannya. Kekuatan militer yang dulu begitu dominan kini telah ditarik secara signifikan dari panggung politik praktis, menjadi kekuatan pertahanan negara, bukan lagi penjaga stabilitas politik.
Selain itu, kebebasan berekspresi dan pers adalah salah satu buah manis yang paling nyata. Dulu, kata-kata adalah bahaya, kritik adalah tabu. Kini, ruang publik dipenuhi riuhnya perdebatan, kritik pedas, bahkan cemoohan terhadap penguasa. Media massa tumbuh menjamur, dari cetak hingga digital, menjadi penyuara berbagai perspektif. Masyarakat sipil bangkit dengan vitalitas baru, mengawal kebijakan, menuntut akuntabilitas, dan menjadi penyeimbang kekuasaan. Internet dan media sosial menjadi arena baru bagi partisipasi politik, meski juga membawa tantangan polarisasi yang tak kalah pelik.
Karang-Karang Kekal: Yang Sulit Tergerus Waktu
Namun, ketika cermin itu dipegang lebih dekat, retakan-retakan masa lalu masih terlihat jelas. Korupsi, hantu abadi yang enggan minggat, justru menemukan wajah baru pascareformasi. Jika dulu terpusat dan terstruktur, kini ia menyebar hingga ke tingkat daerah, menjadi endemik dalam birokrasi dan politik. Desentralisasi yang seharusnya menjadi obat, terkadang justru melahirkan raja-raja kecil di daerah dengan korupsi berjamaah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lahir dari semangat reformasi, kini pun kerap terombang-ambing di tengah gelombang kepentingan politik.
Kemudian, ada oligarki dan politik dinasti yang bereinkarnasi. Wajah-wajah baru mungkin menghiasi panggung, tetapi struktur kekuasaan dan jaringan ekonomi-politik masih seringkali dikuasai oleh segelintir elite yang sama, atau keturunan mereka. Partai politik, yang seharusnya menjadi wadah ideologi dan kaderisasi, seringkali menjelma menjadi kendaraan pribadi atau keluarga, tempat tawar-menawar kepentingan, bukan pertarungan gagasan. Biaya politik yang mahal melahirkan politik uang, mengikis idealisme dan membuka pintu bagi para pemodal, bukan ideolog.
Yang tak kalah penting adalah politik identitas dan polarisasi. Jika dulu isu ini ditekan di bawah karpet, kini ia muncul ke permukaan, bahkan menjadi senjata ampuh dalam kontestasi politik. Perpecahan berdasarkan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) acapkali dieksploitasi untuk meraih kekuasaan, mengancam kohesi sosial dan persatuan bangsa yang dibangun dengan susah payah. Kebijakan yang seharusnya bersifat universal, seringkali terjebak dalam jebakan populisme yang mengorbankan rasionalitas demi dukungan massa sesaat.
Dialektika Reformasi: Sebuah Arena Tanpa Henti
Reformasi ternyata bukanlah garis finis, melainkan sebuah arena dialektika yang tak henti. Kebebasan yang kita raih, di satu sisi, adalah anugerah, namun di sisi lain, juga melahirkan tantangan bagaimana mengelola kebebasan itu agar tidak menjadi anarki atau sarana penyebaran hoaks dan kebencian. Desentralisasi memberikan otonomi, tetapi juga memunculkan tantangan tata kelola yang baik dan potensi korupsi lokal.
Ruh reformasi yang menuntut keadilan, akuntabilitas, dan partisipasi publik masih terus bergelora di hati sebagian masyarakat, terutama generasi muda dan aktivis. Namun, di sisi lain, pragmatisme politik yang mengedepankan kekuasaan dan keuntungan pribadi seringkali membayangi. Kita melihat kemajuan dalam bentuk institusi demokrasi, tetapi kerap merasakan kemunduran dalam substansi dan kualitas praktik politiknya.
Masa Depan yang Tak Pasti: Sebuah Panggilan untuk Refleksi Kolektif
Melihat cermin retak ini, kita diingatkan bahwa perjalanan reformasi adalah maraton, bukan sprint. Ia membutuhkan stamina, kesadaran kritis, dan partisipasi aktif dari setiap warga negara. Pertanyaan besar yang menggantung adalah: apakah kita akan membiarkan retakan-retakan itu melebar hingga cermin itu pecah, ataukah kita akan terus berupaya merekatkannya, menambal sulamnya dengan komitmen pada nilai-nilai dasar reformasi?
Refleksi politik pascareformasi adalah panggilan untuk tidak larut dalam nostalgia atau keputusasaan. Ia adalah undangan untuk terus bertanya, mengkritik, berpartisipasi, dan berinovasi. Karena Indonesia yang lebih baik, yang benar-benar adil dan demokratis, tidak akan pernah datang dengan sendirinya. Ia adalah hasil dari perjuangan kolektif yang tak pernah usai, di tengah gelombang perubahan dan karang-karang tantangan yang tak henti menguji.











