Mencari Jantung yang Hilang: Reformasi Partai Politik untuk Demokrasi yang Lebih Bernyawa
Demokrasi. Sebuah kata yang sering kita dengar, lantang kita serukan, dan kita yakini sebagai sistem terbaik untuk mengelola hajat hidup orang banyak. Namun, mari kita jujur sejenak: berapa banyak dari kita yang benar-benar merasa demokrasi di negeri ini "murni" atau setidaknya "sehat walafiat"? Seringkali, yang kita rasakan justru adalah desah napasnya yang tersengal, seperti seorang pelari maraton yang kehabisan tenaga di kilometer-kilometer terakhir. Dan jika kita mencari di mana letak masalahnya, tak jarang jari telunjuk kita akan mengarah ke satu institusi fundamental: sistem partai politik.
Bukan rahasia lagi, partai politik di banyak negara, termasuk Indonesia, seringkali menjadi arena yang lebih mirip panggung sandiwara perebutan kekuasaan ketimbang wadah perjuangan ideologi atau aspirasi rakyat. Mereka seharusnya menjadi jantung yang memompa darah segar ke seluruh tubuh demokrasi. Namun, apa jadinya jika jantung itu mulai berdetak tak beraturan, tersumbat kolesterol kepentingan, atau bahkan nyaris berhenti berdenyut?
Diagnosis: Jantung yang Sakit
Mari kita bedah sebentar "penyakit" yang melanda sistem partai kita:
- Oligarki Internal: Partai kerap kali dikuasai segelintir elite atau bahkan satu figur sentral. Keputusan penting lahir dari bilik-bilik tertutup, bukan dari musyawarah yang partisipatif. Anggota akar rumput hanya berfungsi sebagai "tukang stempel" atau mesin suara saat pemilu. Ini membunuh inisiatif, mematikan kaderisasi berbasis meritok, dan menciptakan politik "setor muka" ketimbang "setor karya."
- Pragmatisme Buta: Ideologi? Visi misi jangka panjang? Seringkali itu hanya hiasan di spanduk kampanye. Ketika kekuasaan adalah tujuan utama, prinsip bisa dipertukarkan, koalisi bisa berubah haluan 180 derajat dalam semalam, dan janji politik menguap begitu saja. Ini menciptakan partai yang tidak punya identitas jelas, sehingga rakyat pun bingung apa yang sebenarnya mereka perjuangkan.
- Politik Transaksional: Uang adalah raja. Dana kampanye yang tak transparan, mahar politik yang mencekik, hingga jual beli jabatan publik menjadi rahasia umum. Akibatnya, yang berhak menduduki kursi kekuasaan bukanlah yang terbaik, melainkan yang terkuat dompetnya atau yang paling lihai bernegosiasi di belakang meja. Rakyat pun akhirnya hanya mendapat pemimpin hasil "lelang," bukan seleksi murni.
- Minimnya Regenerasi dan Kaderisasi: Partai gagal menciptakan generasi pemimpin baru yang berkualitas dan berintegritas. Yang ada hanyalah wajah-wajah lama yang bergantian posisi, atau figur instan yang tiba-tiba muncul tanpa rekam jejak yang jelas di partai. Ini seperti sebuah pohon yang tidak pernah menumbuhkan tunas baru, hanya mengandalkan batang tua yang semakin rapuh.
Resep Perbaikan: Membangun Jantung yang Lebih Kuat
Melihat kondisi ini, reformasi sistem partai politik bukan lagi pilihan, melainkan keharusan mendesak jika kita ingin demokrasi kita kembali bernyawa dan lebih murni. Lalu, bagaimana resepnya?
-
Demokrasi Internal yang Sesungguhnya:
- Primari Terbuka: Adopsi sistem pemilihan calon legislatif atau kepala daerah secara langsung oleh anggota partai, bahkan oleh simpatisan, layaknya primari di Amerika Serikat. Ini akan memaksa calon untuk merangkul basis massa, bukan hanya melobi elite.
- Transparansi Keuangan Partai: Setiap rupiah yang masuk dan keluar harus bisa diakses publik. Audit independen secara berkala adalah mutlak. Ini memutus rantai ketergantungan pada donatur besar yang ujung-ujungnya menuntut "balas budi."
- Pembatasan Masa Jabatan Ketua Umum: Mencegah terciptanya oligarki dan dinasti di pucuk pimpinan. Rotasi kepemimpinan akan memberi kesempatan ide dan energi baru.
-
Reideologisasi dan Pendidikan Politik:
- Perjelas Identitas Partai: Setiap partai harus punya core ideology yang kuat dan konsisten, bukan sekadar "partai nasionalis" atau "partai religius" yang kosong makna. Ini akan memudahkan rakyat memilih sesuai keyakinannya.
- Sekolah Politik yang Serius: Investasi besar dalam pendidikan kader. Bukan hanya kursus retorika, tapi penanaman nilai, etika berpolitik, dan pemahaman mendalam tentang masalah bangsa. Lahirkan negarawan, bukan sekadar politisi pemburu jabatan.
-
Sistem Pendanaan yang Sehat:
- Subsidi Negara yang Proporsional: Negara harus berani mengalokasikan dana yang cukup untuk partai, tentu dengan syarat transparansi dan akuntabilitas ketat. Ini bisa mengurangi godaan korupsi dan ketergantungan pada donatur swasta.
- Batasi Donasi Individu/Korporasi: Perketat aturan sumbangan dari pihak ketiga untuk menghindari intervensi kepentingan.
-
Pengawasan Independen dan Penegakan Hukum:
- Peran Bawaslu/KPU yang Lebih Kuat: Bukan hanya mengawasi pemilu, tapi juga kepatuhan partai terhadap regulasi internal dan eksternal.
- Sanksi Tegas: Partai yang melanggar aturan internal maupun UU harus diberi sanksi tegas, termasuk pembekuan atau pembubaran jika pelanggaran sangat serius.
Reformasi sistem partai politik adalah pekerjaan rumah yang maha berat. Ini akan berhadapan dengan tembok tebal status quo, kepentingan elite yang sudah nyaman, dan resistensi dari mereka yang diuntungkan oleh sistem saat ini. Namun, mengapa harus menunggu hingga demokrasi kita benar-benar kolaps dan tak berdaya?
Jika kita ingin melihat demokrasi yang lebih murni, di mana suara rakyat benar-benar menjadi penentu, di mana pemimpin lahir dari kompetisi sehat dan bukan transaksi gelap, dan di mana partai menjadi wadah perjuangan ide dan cita-cita, maka saatnya kita berani "mengoperasi" jantungnya. Mari bersama-sama menuntut, mendorong, dan mengawal reformasi ini. Karena, pada akhirnya, masa depan demokrasi kita bergantung pada seberapa sehat dan bernyali partai-partai politiknya.


