Sistem Pemilu dan Perwakilan Politik Kaum Marjinal

Ketika Meja Demokrasi Tak Cukup Luas: Sistem Pemilu dan Pergulatan Suara Kaum Marjinal

Bayangkan sebuah meja bundar demokrasi, di mana setiap warga negara seharusnya memiliki kursi dan suaranya didengar. Namun, bagi sebagian orang, meja itu terasa terlalu tinggi, kursinya tak terlihat, atau bahkan tak ada sama sekali. Mereka adalah kaum marjinal – kelompok masyarakat yang secara struktural, sosial, atau ekonomi terpinggirkan: penyandang disabilitas, masyarakat adat, pekerja migran, kelompok minoritas seksual, kaum miskin kota, dan banyak lagi. Pergulatan mereka untuk mendapatkan perwakilan politik yang layak adalah cerminan dari cacat fundamental dalam sistem yang seharusnya inklusif.

Paradoks Keterwakilan: Suara Ada, Kursi Tiada

Paradoksnya, mereka yang paling membutuhkan kebijakan yang responsif dan inklusif, justru seringkali paling sulit untuk menembus lorong-lorong kekuasaan. Bukan karena mereka tak ada, melainkan karena sistem yang ada belum sepenuhnya melihat mereka. Sistem pemilu, yang seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah, seringkali justru menjadi labirin yang membingungkan atau tembok tinggi yang tak terlampaui.

Mari kita bedah bagaimana "arsitektur" pemilu bisa mempengaruhi nasib suara-suara terpinggirkan ini:

  1. Sistem Mayoritas Sederhana (First-Past-The-Post/FPTP): Sang Penjegal Minoritas
    Sistem ini, yang sering kita lihat di banyak negara (termasuk pemilihan kepala daerah di Indonesia), menganugerahkan kemenangan kepada kandidat dengan suara terbanyak di satu daerah pemilihan. Sekilas tampak adil, namun bagi kaum marjinal, ini adalah "kuburan" aspirasi. Mengapa? Karena kelompok minoritas seringkali tersebar dan tidak terkonsentrasi di satu wilayah. Suara mereka, meskipun signifikan secara kolektif, akan "terserap" oleh suara mayoritas di setiap daerah pemilihan. Hasilnya, nol kursi, nol perwakilan. Mereka memiliki suara, tetapi sistem tak mampu mengkonversinya menjadi kursi.

  2. Sistem Proporsional: Secercah Harapan, Sejuta Tantangan
    Di sisi lain, sistem proporsional (yang digunakan untuk pemilihan legislatif nasional di Indonesia) menawarkan harapan lebih cerah. Kursi di parlemen dibagi berdasarkan persentase suara yang diperoleh partai. Logikanya, jika kelompok marjinal berhasil mengonsolidasikan dukungan pada satu partai atau membentuk partai sendiri, mereka punya peluang.
    Namun, ia bukan obat mujarab. Tantangannya adalah:

    • Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold): Banyak negara menetapkan persentase minimal suara nasional agar sebuah partai bisa masuk parlemen. Bagi partai-partai kecil yang mewakili kelompok marjinal, mencapai ambang batas ini adalah mimpi buruk finansial dan logistik.
    • Daftar Tertutup vs. Terbuka: Dalam sistem daftar tertutup, pemilih mencoblos partai, dan partai yang menentukan siapa yang duduk dari daftar mereka. Ini bisa jadi pedang bermata dua: partai bisa sengaja menempatkan kandidat marjinal di posisi atas, atau justru menyingkirkannya ke bawah demi calon yang lebih "populer" secara umum. Dalam daftar terbuka, pemilih mencoblos kandidat, memberikan sedikit lebih banyak kekuatan kepada pemilih, tetapi tetap saja, kandidat marjinal harus bersaing dengan nama-nama besar yang punya modal lebih.
  3. Sistem Campuran: Kompromi yang Seringkali Mengaburkan
    Beberapa negara menggabungkan elemen mayoritas dan proporsional. Tujuannya adalah mengambil yang terbaik dari kedua dunia. Namun, seringkali, kerumitan sistem ini justru mengaburkan jalur bagi kaum marjinal. Mereka harus memahami dua logika yang berbeda, dan seringkali, elemen mayoritasnya masih terlalu dominan untuk mengikis peluang mereka.

Di Balik Angka dan Aturan: Tembok Tak Terlihat

Selain arsitektur sistem pemilu, ada tembok-tembok tak terlihat yang jauh lebih tinggi:

  • Biaya Politik yang Selangit: Mencalonkan diri, apalagi memenangkan kursi, membutuhkan modal besar. Bagi kaum marjinal, yang seringkali bergulat dengan kemiskinan, ini adalah rintangan yang hampir mustahil. Dana kampanye, relawan, sosialisasi – semua butuh uang.
  • Stigma dan Prasangka Sosial: Seorang penyandang disabilitas, seorang transgender, atau seorang perwakilan masyarakat adat seringkali harus berhadapan dengan pandangan miring, stereotip, dan diskriminasi dari masyarakat luas. Narasi dominan yang menganggap mereka "tidak pantas" atau "tidak mampu" menjadi politisi adalah racun bagi partisipasi politik mereka.
  • Akses Informasi dan Pendidikan Politik: Kaum marjinal seringkali memiliki akses terbatas terhadap informasi politik yang relevan dan pendidikan kewarganegaraan. Ini menghambat mereka untuk memahami hak-hak mereka, sistem yang ada, dan cara untuk berpartisipasi secara efektif.
  • Kurangnya Jaringan dan Dukungan: Politik adalah permainan jaringan. Kaum marjinal seringkali kekurangan akses ke jaringan elite politik atau organisasi masyarakat sipil yang kuat yang bisa mendukung kampanye mereka.
  • Ketiadaan Representasi Simbolis: Ketika seorang anak melihat tidak ada politisi yang seperti dirinya – dari latar belakang yang sama, dengan pengalaman yang sama – hal itu bisa memadamkan api aspirasi politik sejak dini. Representasi simbolis itu penting untuk menumbuhkan rasa "mungkin" di masa depan.

Mengapa Ini Penting? Karena Demokrasi Tanpa Mereka Itu Pincang

Ketika suara kaum marjinal tidak terwakili, implikasinya jauh lebih dalam dari sekadar angka di parlemen. Kebijakan publik menjadi buta terhadap kebutuhan unik mereka. Anggaran tidak dialokasikan untuk program yang relevan. Undang-undang bisa saja justru merugikan mereka. Lingkaran setan ketidakadilan pun terus berputar.

Demokrasi sejati bukan hanya tentang menghitung suara, tetapi memastikan setiap suara benar-benar dihitung – dan didengar. Ini adalah panggilan untuk mendesain ulang bukan hanya arsitektur pemilu, tetapi juga cara kita memandang partisipasi politik. Mungkin dengan kuota khusus, kursi afirmasi, dana kampanye yang lebih adil, pendidikan politik inklusif, dan yang terpenting, perubahan cara pandang masyarakat.

Agar meja bundar demokrasi kita benar-benar menjadi tempat bagi semua, bukan hanya bagi mereka yang punya suara paling keras atau paling banyak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *